Berteman dengan Al-Qur'an, Sebuah Kompilasi Napak Tilas


 Bismillahirrahmanirrahim

Tajrubah atau pengalaman merupakan bagian dari aktivitas utama seseorang dalam menimba ilmu. Tidak ada pengalaman terbaik untuk menempa diri terhadap keilmuan selain tajrubah atau mengembara menuntut ilmu. Artinya seorang pembelajar HARUS melakukan pengembaraan ketika pertama kali ia berniat dan bertekad memperoleh ilmu. Tapi ilmu apa gerangan yang dianjurkan bagi seorang tholabul ilmu ini?


Karena pada blog sederhana penulis hendak menorehkan sedikit pengalamannya, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu ukhrowi atau ilmu agama yang berhubungan erat dengan manfaat utama dalam hidup, yakni ilmu akhirat atau ilmu agama. Tapi, meski demikian, bukan berarti keilmuan atau pengetahuan yang berkaitan dengan keilmuan dunia atau eksak tidak dianjurkan. Tapi menurut penulis antara ilmu ukhrowi dan ilmu duniawi memiliki korelasi yang begitu kuat sehingga keduanya harus berjalan seiring secara harmonis. Karena Allah meninggikan langit dan memperkokoh bumi sebagai bagian dari integritas keduanya menuju ridho-Nya.

Mari kita perhatikan dan hayati sejenak bagaimana integritas antara waktu-waktu shalat dalam Islam dengan siklus penciptaan alam semesta ini.

Dalam kitab al-Umm-nya, Imam Syafi'i menafsirkan ayat-ayat waktu shalat yang terdapat dalam surah ar-Rum: 17-18.

فسبحان الله حين تمسون وحين تصبحون

Ayat ke-17 ini menunjukkan waktu shalat Maghrib dan Isya (tumsuun) dan waktu shalat Fajar (subuh - tusbihun).

وله الحمد فى السموات والأرض وعشيا وحين تظهرون

ٍSedangkan ayat ke-18 nya menunjukkan waktu shalat Zuhur ( asyiyyan) dan Shalat Ashar (tuzhiruun)

Dua ayat di atas menjadi dalil bahwa memang jadwal ibadah shalat sudah Allah tentukan waktu-waktunya. Sesuai dengan firman Allah pada ayat lainnya:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَـٰبًا مَّوْقُوتًا

"Sesungguhnya shalat itu adalah satu ketetapan yang diwajibkan atas orang-orang yang beriman yang telah ditentukan waktunya." (Qs an-Nisa: 103)

Satu-kesatuan antara waktu shalat dan perputaran waktu yang terus berganti menandakan bahwa alam semesta beserta isinya memiliki integrasi yang sangat kuat bagi kehidupan seorang muslim. Perputaran waktu, siang dan malam dan seterusnya mengisyaratkan pentingnya melakukan pengamatan (observasi) agar rasio kita terbiasa dekat ciptaan Allah dan mengantarkan kepada nilai-nilai fitrah di dalamnya dalam bentuk Tauhidullah (meng-Esa-kan Allah). Sejatinya, setiap mata manusia yang memperhatikan penciptaan langit dan bumi dan perputaran waktu-waktu di dunia membuat merekaberpikir secara rasional dan objektif sehingga fitrah dirinya tersentuh untuk berpikir. Karena sikap berpikir inilah kemudian yang kelak akan menjadi objek hisab Allah di yaumil akhir.

Pada ayat 10 surah al-Mulk Allah menceritakan perihal jawaban orang-orang kafir yang menjadi penghuni neraka ketika ditanya mengapa mereka masuk ke dalam neraka padahal para nabi dan rasul telah Allah utus? 

Mereka menjawab:

وَقَالُوا۟ لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصْحَـٰبِ ٱلسَّعِيرِ

"Dan mereka menjawab, "Seandainya saja dahulu kami mendengar dan berpikir niscaya kami tidak akan termasuk golongan penghuni neraka sa'ir." (Qs al-Mulk: 10).

Namun, seringkali hati manusia tertutup oleh intervensi setan yang menuhankan akal bekerja tanpa batas. Panggilan fitrah untuk menuhankan Allah di sela-sela pengamatan penciptaan alam ini dibungkam oleh bisikan-bisikan setan yang didukung oleh dorongan hawa nafsu dirinya. Akibatnya, output yang muncul dari hasil riset para peneliti ini adalah segala sesuatu yang tidak rasional atau sesuai dengan akal maka itu adalah hal yang absolut. Padahal, dorongan iman pasca perenungan merupakan sebuah keyakinan dalam agama Islam. Dalam pengamatan memang ada hal-hal yang mudah dipahami oleh akal manusia, sejauh apapun daya dukung jelajah terhadap alam semesta ini. Namun, karena keterbatasan jangkauan akal manusia maka secanggih apapun tehnologi yang dikerahkan untuk mencari batas alam semesta ini tidak akal ditemui. Sebab, seperti kata seorang mufassir, ketika mata manusia dikerahkan untuk melakukan pengamatan di alam semesta ini, maka mata mereka itu seolah tersihir oleh besarnya alam semesta.

Seberapa besar kemampuan mata manusia menjangkau batas alam semesta ini -apalagi eksistensi Sang Pencipta- kalau hanya mengandalkan keterbatasan jangkauan pikiran akal dan daya nalar manusia di hadapan dahsyatnya luasnya jagad raya ini? Manusia memang terlalu kerdil menilai semuanya dengan kacamata egoisme, hawa nafsu dan bisikan setan.

Sementara nilai-nilai keimanan yang dibimbing dengan wahyu ilahi menjadi bukti yang tidak lagi bisa ditawar-tawar. Artinya, hanya dengan iman yang kuat seorang manusia dapat menemukan output pengamatan yang penuh dengan ketenangan dan rasa ithmi'nan (damai). Inilah sebuah napak tilas keimanan dengan pendekatan iman dan tauhidullah. 

Selama kemampuan manusia, dan didukung dengan segenap kekuatan makhluk-makhluk lain masih dikerahkan untuk memperoleh kepuasan hasil observasinya meneliti alam raya ini, maka Allah terus menantang mereka dalam sebuah firman-Nya:

يَـٰمَعْشَرَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ إِنِ ٱسْتَطَعْتُمْ أَن تَنفُذُوا۟ مِنْ أَقْطَارِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ فَٱنفُذُوا۟ ۚ لَا تَنفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَـٰنٍ

Artinya: "Wahai segenap Jin dan manusia, jikalau kalian sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Sesungguhnya kalian tidak akan sanggup melakukannya kecuali dengan kekuatan," (Qs ar-Rahman: 33)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan pesan, komentar dan masukan Anda sesuai etika & kesopanan yang berlaku