Keterbukaan Teks Al-Qur'an [1]


Saudaraku seiman dan seakidah...Setelah kita membahas tentang jenis-jenis tafsir yang disebutkan Ibnu Abbas -tintanya umat ini- pada postingan sebelumnya di sini, maka jelaslah bagi kita bahwa tidak ada lagi alasan dan kendala yang bisa diterima untuk tidak memahami al-Qur'an, menghayati dan kemudian mengamalkannya sehari-hari sebagai bagian dari pengamalan ajaran Allah yang hukumnya wajib. Sebab Allah tidak menurunkan ajaran dan syariat Islam ini melainkan agar setiap individu dari kaum muslimin mengamalkannya dengan kesadaran, totalitas dan meraih ridho-Nya. Dengan demikian maka ridho Allah di dunia ini dapat kita peroleh sebelum ridho-Nya di akhirat kelak. Allah berfirman:

وَرَضِيْتُ لَكَمَ الْإِسْلاَمَ دِيْنًا

...Dan Aku ridhai bagi kalian Islam sebagai agama..." (Qs al-Maidah: 3)

Maka pada postingan kali ini, marilah kita mengulas sejenak tentang keterbukaan teks al-Qur'an. Kita paham bahwa al-Qur'an terbuka bagi siapa saja. Ia tidak hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup pada masa ketika ia diturunkan, tetapi juga oleh setiap generasi, termasuk generasi saat ini. Mereka mendapatkan penjelasan yang memuaskan pikiran dan pemahaman yang mudah.

Almarhum Syekah Muhammad Ghazali mengatakan:

Ungkapan al-Qur'an begitu terbuka, menyimpan dan mengeluarkan banyak pemaknaa. Ini menjadi keharusan agar al-Qur'an bisa bertahan di sepanjang zaman. Keterbukaan al-Qur'an tampak jelas ketika berbicara tentang sejarah atau hal-hal lain: ungkapan al-Qur'an memiliki susunan tertentu yang bisa diterima dan ditekuni oleh para cendekiawan, juga mudah dipahami oleh kalangan awam, meski hanya pada tingkat paling sederhana...Inilah nilai lebih dari al-Qur'an

Syekh Ghazali mencontohkan kalimat 'Laa Rayba fiih" (tidak ada keraguan di dalamnya). "Waktu kecil," katanya, "aku memaknai rayb itu dengan "keraguشn dan ketidakbenaran". Setelah besar aku baru mengerti kenapa ayat itu menggunakan susunan demikian sehingga kebenarannya bisa diterima akal." (Lihat: Kayfa Nata'amal ma'al Qur'an, hal. 205). 

Di sini kita kemukaan bukti-bukti nyata yang menegaskan bahwa ketidakmampuan kita memetik manfaat al-Qur'an bukan karena alasan kita tidak memiliki cita rasa bahasa. Tidak sedikit contoh dalam sejarah Islam orang non-Arab atau 'ajam tergerak hatinya kepada al-Qur'an setelah mempelajari bahasa Arab dan mampu memetik manfaat secara maksimal.

Abu Hasan Nadwi mengatakan bahwa tidak sedikit ulama dan orang yang shaleh yang lahir di luar Arab dan -tentu saja- tidak berbahasa Arab, tetapi mampu menikmati bacaan al-Qur'an, menghafalkannya, mencintainya, memberikan seluruh perhatian untuknya, bahkan melebihi mereka yang menggunakan bahasa Arab dalam keseharian mereka.

Berikut ini sebagian kisah mereka...

Disebutkan dalam biografi seorang imam mujaddid, Ahmad Saraharindi, bahwa ketika ia membaca al-Qur'an, seluruh hakikat dan nilai kebaikan al-Qur'an seolah berlimpah di hadapannya. Jika membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan azab akhirat, atau menggambarkan ketakjuban atau berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan, seolah semua itu ditujukan kepada dirinya, mengajak berkomunikasi.

Syekh Fadlurrahman Kanj Murad Abadi (wafat tahun 1313 H) pernah membaca al-Qur'an sampai kehilangan kesadaran. Ia hanyut dalam aliran ayat. Ia kemudian berkata kepada Syekh Sayyid Tajmal Husain, 

Andai kalian bisa merasakan nikmatnya membaca al-Qur'an sebagaimana yang aku rasakan, pasti kalian tidak akan kuat, lalu keluar sambil mencabik-cabik baju kalian, tidak mampu berkata apa-apa."

Syekh Fadlurahman kemudian masuk ke rumahnya, dan jatuh sakit sampai beberapa hari.

Suatu saat syekh pernah berkata;

Keterpautan hakiki dengan al-Qur'an adalah puncak perjalanan ruhani dan kebaikan. 

 Syekh Abdul Qadir Jailani (seorang Syekh terkemuka pada zamannya) menggambarkan guru spiritualnya, Syekh Abdurrahman Raifuri (meninggal pada tahun 1919 M/1337 H):

Aku pernah melihat Syekh membaca al-Qur'an pada suatu malam. Lama sekali. Ketika ayat yang dibaca berkenaan dengan azab, kudengar beliau menangis, beristighfar dan menundukkan diri dengan cara seperti orang yang meminta ampun atas kesalahan. Sebaliknya, ketika ayat berkenaan dengan rahmat Allah, ia terlihat cerah, ceria dan terkadang diam. - Lihat: Madkhal Ilaa Dirasatul Qur'an, hal. 104-106.

bersambung...[Muhammad Iqbal] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan pesan, komentar dan masukan Anda sesuai etika & kesopanan yang berlaku