Citra Yang Kita Warisi Tentang al-Qur'an


mewarisi al-Qur'an
Setelah lahir, bayi akan tumbuh setahap demi setahap hingga memasuki fase memahami keadaan sekelilingnya. Setiap kejadian akan terekam dalam memorinya. Beberapa hal yang terjadi secara berulang-ulang akan menjadi ingatan alam bawah sadar sampai kemudian membentuk keyakinan-keyakinan.[1]

Sekedar contoh, bila setiap kali merasa haus seorang anak diberi sesuatu, ia akan meyakini bahwa sesuatu itulah yang bisa menghilangkan rasa haus. Selanjutnya, ia mengenal jenis sesuatu itu, dan kemudian secara otomatis akan memintanya jika ia kehausan.

Jika berkali-kali melihat orangtuanya selalu menghentikan pembicaraan ketika mendengar panggilan, seorang anak akan mengingat-ingat hal itu sebagai bentuk penghormatan terhadap panggilan.

Kita bisa menyebutkan contoh-contoh lain, yang intinya, apa saja yang menjadi kebiasaan di dalam rumah sebagai lingkungan pertama akan ditiru menjadi kebiasaan pula bagi seorang anak.

Dalam kaitan ini Jaudah Said berkata, "Setiap bayi yang lahir ke dunia tidak memiliki kemampuan apa-apa, tak bisa berpikir, berbicara, dan menulis. Hanya satu yang ia miliki, yaitu kesiapan untuk dibentuk menjadi apa saja oleh lingkungannya. Bayi yang lahir di lingkungan Arab akan menjadi Arab, baik bahasanya maupun pola pikirnya. Bayi China akan menjadi pemeluk Buddha, bayi India akan menjadi pemeluk Hindu. Semua bayi adalah calon pemeluk agama dan pemakai bahasa lingkungan mereka.[2]

Nabi juga bersabda, "Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, ibu bapaknya yang membuatnya Yahudi, Nasrani atau Majusi." [3]

Sewaktu dalam buaian, sebenarnya bayi bisa bertahan menangkap perilaku ibunya, baik kepada si bayi itu sendiri maupun kepada sekitarnya. Semua yang dilihat dan didengar akan direkam, mengendap ke alam bawah sadarnya sebagai konsep yang seharusnya butuh ribuan tahun untuk diserap, tetapi oleh sang bayi hanya dalam waktu sekitar dua atau tiga tahun saja.

Saat itu, ia mulai membedakan masa suara ramah dan mana suara marah, mana wajah berseri dan mana wajah keki. Ia juga mulai mempelajari hal-hal jelek yang membuat kita kesal. Itulah kenapa setiap kali bayi mau merangkak, memegang, atau bermain sesuatu, terlebih dahulu ia menatap wajah kita. Ia sebetulnya mencari komfimasi apakah perilakunya kita setujui atau tidak.

Begitu pula si bayi mulai belajar memahami nilai-nilai yang mendasari sikap dan perilaku kita meski ia belum bisa berbicara dan mengerti makna kata-kata. Nilai-nilai itu akan tertanam kuat dan mengakar secara praktis dalam kepribadiannya hingga seolah tampak sebagai bawaan lahir.

Meski semua berlangsung ketika si bayi masih dalam usia prasekolah dan sebelum ia belajar bicara, namun itulah yang menentukan sikap dan perilaku bayi dalam pertumbuhannya. Akan sangat sulit bagi si bayi untuk mencerabut segala hal yang telah ia pelajari pada tahun-tahun pertamanya, dan sudah tertanam di alam bawah sadarnya.

Bagaimana dengan Citra al-Qur'an yang Kita Warisi?

Pemahaman-pemahaman dan nilai-nilai -terlepas apakah itu benar atau tidak- mulai tertanam dalam keyakinan seorang anak pada tahun-tahun pertamanya. Bagaimana jika pemahaman dan nilai itu adalah Al-Qur'an?

Awalnya seorang anak tidak tahu apa-apa tentang al-Qur'an. Ia hanya melihat benda tertentu di letakkan di sebuah sudut rumah, tak tersentuh. Sampai suatu saat orangtuanya mengambil benda tersebut, membuka dan melihat-lihat sebentar, menutupnya, lalu meletakkannya di tempat semua.

Lain waktu, ia melihat ibunya mendengarkan musik dari radio. Suara yang masih asing bagi seorang anak kecil, karena belum terbiasa. Kemudian, sang ibu pergi ke tempat lain, mungkin untuk berbincang dengan ayah, menelpon, membaca majalah, atau yang lain -tanpa mematikan radio yang masih memutar lagu.

Selanjutnya, si anak melihat ibu dan bapaknya menyaksikan acara televisi yang menampilkan penyanyi dengan lagi yang biasa ia dengar. Lalu, ia melihat dan bapaknya tampak bosan. Televisi pun dimatikan, atau dibiarkan hidup tanpa ada yang memperhatikan.

Pada lain waktu, si anak dibawa pergi orangtuanya. Ia melihat banyak orang duduk-duduk di suatu tempat yang besar, dan mendengar suara yang itu-itu saja, tentang urusan mereka tanpa mau peduli pada apa yang mereka dengar.

Ketika di dalam mobil, sang ayah memutar lagu: lagu yang sama dan sudah biasa di dengar anak. Sementara, ibu dan bapaknya asyik bercakap-cakap sendiri, tanpa memperhatikan lagu tersebut sedikit pun.

Dari ilustrasi di atas, apa yang dapat Anda katakan soal si anak tentang al-Qur'an?

Dari orang tua dan lingkungan seperti itu, apakah si anak akan menangkap pemahaman bahwa al-Qur'an itu sangat penting dan patut diperhatikan? Ataukah yang ia tangkap adalah bahwa Mushaf al-Qur'an harus disimpan dan dijaga secara baik tanpa perlu memahami isinya?

Ketika tumbuh dan mulai bersekolah, si anak dibawa orangtuanya ke tempat-tempat belajar membaca al-Qur'an, yang kemudian memantapkan keyakinan si anak bahwa perlakuan terpenting terhadap al-Qur'an adalah membaca dan menghafalnya, tanpa harus memahami isinya!

Kesan Hati

Umar Ubaid Hasanah berkata, 

"Kesan yang tertanam di benar kita pada masa kanak-kanak tentang al-Qur'an adalah bahwa ia hanya penting dibaca di sisi orang yang tengah meregang nyawa atau telah meninggal, ketika berziarah kubur, atau memohon berkah untuk kesembuhan orang yang sakit...Al-Qur'an masuk hanya sampai ke mulut, tak sampai ke hati."

Hal senada diungkapkan Muhammad Abduh. Menurutnya, apa yang kita ketahui tentang al-Qur'an tak berbeda dari pengetahuan kita tentang Allah. Apa yang pertama kali kita ajarkan kepada anak adalah sebuah nama: Allah. Anak belajar tentang Allah dengan keimanan yang tak tepat. Misalnya kita katakan kepada mereka, "Allah berkuasa melakukan apa saja, atau tak berbuat apa pun."

Demikian pula tentang al-Qur'an, apa yang didengar anak dari orang-orang di sekitarnya adalah bahwa al-Qur'an itu adalah firman Allah. Soal apa yang dimaksud dengan firman Allah, mereka tidak mengerti. Mereka juga tidak tahu cara memuliakannya selain dengan dua cara yang diajarkan kebanyakan umat Islam, yaitu, pertama, kepercayaan bahwa bila ayat tertentu ditulis dan dicelupkan ke air hingga tulisannya luntur dan berbaur, lalu diminumkan kepada orang sakit, maka itu akan sembuh...Orang yang membawa catatan itu akan selamat dari gangguan jin dan setan...Al-Qur'an membawa berkah...dan seterusnya.

Kedua, kesan tertentu dari pendengar ketika al-Qur'an dibacakan secara baik dengan lagu yang indah dan oleh pembaca yang bersuara merdu. Bisa jadi seorang pendengar terhanyut dengan keindahan dan kemerduan bacaan al-Qur'an itu. Namun, alasan sesungguhnya yang barangkali tak disadari adalah karena pendengar tersebut tidak memahami al-Qur'an sama sekali. Maksudnya, ia tidak memahami rasa struktur bahasa Al-Qur'an yang menakjubkan serta tidak mampu menangkap pesannya.

Al-Qur'an yang Kita Wariskan

Kita wariskan Al-Qur'an sebagaimana yang kita warskan dari leluhur-leluhur kita: ia kitab disucikan kertas-kertasnya, dicium, dijadikan pembukaan berbagai acara, ditulis sebagai kaligrafi lalu digantung ke dinding, atau dicetak sebagai hiasan di uang emas atau perak.

Abu Hasan an-Nadwi menggambarkan hal itu ketika mengulas pengaruh-pengaruh yang membentuk kepribadian Muhammad Iqbal.

An-Nadwi menuturkan, yang telah berjasa besar membentuk kepribadian dan pemikiran Iqbal adalah guru agung yang sebenarnya terdapat dalam setiap rumah muslim. Tetapi, masalahnya bukan seberapa mudah guru itu ada dan mudah ditemui, tetapi apakah mereka berkeinginan untuk mengetahui dan memanfaatkannya. Jika saja mereka memiliki keinginan itu, tentu mereka akan hidup lebih bahagia dan lebih banyak memetik manfaat.

Tetapi, kenyataannya tidak demikian. Guru agung itu malah disia-siakan dan diabaikan. Anak-anak tak memperdulikannya, orangtua meremehkannya. Lalu, datanglah seseorang dari negeri yang jauh, menghirup lautan ilmunya, mengenyam hikmah-hikmahnya.

Guru agung itu tak lain adalah Al-Qur'an yang telah memberikan pengaruh luar biasa dalam jiwa dan pikiran Iqbal. Pengaruh yang tak pernah Iqbal peroleh dari karya dan pribadi manapun! Iqbal menggeluti Kitab Suci ini seperti orang yang baru memeluk Islam. Ada pencerahan dan kerinduan dalam kitab menakjubkan itu, yang tidak pernah bisa didapat dari warisan harta, benda-benda berharga, rumah, istana...

Ya Allah, bukakan mata hati kami terbuka untuk al-Qur'an dan menghayatinya..😂


 Catatan kaki:

[1] Yaitu, pengetahuan yang diserap manusia melalui indera pendengaran dan penglihatan. Pengetahuan ini lalu bergerak masuk ke akal sadar, kemudian berpindah ke alam bawah sadar; suatu bagian pengetahuan mendalam atau keyakinan benar maupun salah. Agar pengetahuan di alam bawah sadar melekat kuat, harus lebih dahulu sering melewati akal sadar. Contoh ketika Anda belajar menyetir mobil, awalnya itu adalah pengetahuan akal sadar. Tetapi setelah berulang-ulang pengetahuan itu menjadi pengetahuan alam bawah sadar, sehingga anda menyetir secara refleks tanpa perlu berpikir. Begitu pula orang yang belajar tajwid, awalnya berupa pengetahuan akal sadar, setelah itu akan menjadi menjadi pengetahuan bawah sadar.
[2] Kun ka ibn Adam, Jaudat Said, hal. 312
[3] HR. Bukhari dan Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan pesan, komentar dan masukan Anda sesuai etika & kesopanan yang berlaku