Potret Masa-masa Awal Ketika al-Qur'an Diturunkan


Jika kembali ke masa Nabi, kita akan menjumpai tak sedikit sosok non-Arab yang begitu terkesan oleh Al-Qur'an. Contohnya adalah Raja Najasyi. Ia takjub saat menyimak ayat-ayat surah Maryam hingga air matanya berlinang dan membasahi janggutnya. Ia mengatakan, "Agama Islam dan agama yang dibawa Nabi Isa keluar dari sumber yang sama."[1] Ia pun kemudian memeluk Islam.

Ini tidak bermaksud merendahkan orang-orang Arab yang tentunya memiliki cita rasa bahasa yang sangat kuat. Bahkan sebaliknya, mereka adalah para panutan yang seharusnya menyebar ke tengah-tengah kaum muslimin, menerangkan apa yang sulit kaum muslimin pahami dari Al-Qur'an agar lebih mendapat petunjuk.

Intinya, kami ingin menegaskan bahwa mempelajari tata bahasa Arab bukan syarat dasar untuk dapat memetik manfaat al-Qur'an. Dalam Fadhail al-Qur'an, Ibnu Dharis menulis bahwa Harits bin Qais pernah berkata, 

"Aku tergagap-gagap jika berbicara. Ada yang berkata kepadaku, "Kau jangan belajar al-Qur'an sebelum belajar bahasa Arab." Aku lalu menemui Abdullah dan menceritakan hal itu. Abdullah menjawab, "Tidak usah! Kamu tengah hidup ketika makna ayat-ayat al-Qur'an terjaga secara baik, tak peduli sedikit-banyaknya hafalan. Berbeda dengan zaman sesudahmu nanti saat al-Qur'an banyak dihafal, tetapi maknanya diabaikan!"

 Jadi, jelas, ketidakmampuan kita memetik manfaat al-Qur'an bukan karena kita tidak mampu berbahasa Arab.

Lalu, Apa?

Seseorang jatuh sakit. Komplikasi. Penyakit sudah didiagnosis, dan dokter sudah memberi resep obat. Setelah pulang, ternyata hanya ada aspirin di rumah.

Mestinya si penderita langsung mengonsumsi aspirin itu, bukan malah sibuk mencari dokter. Ia terlalu menyepelekan obat tersebut, tidak yakin bahwa ia bisa menyembuhkan penyakitnya yang sudah kronis.

Itu hanya perumpamaan. Dan, al-Qur'an bagi kita lebih sekedar dari aspirin bagi orang sakit. Penyakit sudah menjangkit, gejala-gejalanya tampak, diagnosa sudah dilakukan, dan obat sudah di tangan, diturunkan langsung oleh Tuhan. Dengan izin-Nya, tak ada penyakit yang tidak disembuhkan oleh obat itu. Hanya saja kita enggan mengonsumsinya meskipun sebenarnya kita dalam kondisi menderita.

Kenapa?

Ringkasnya, karena kita tidak mempercayai al-Qur'an yang kita akrabi mampu menyelesaikan semua masalah, lalu mengembalikan kita ke puncak kemuliaan.

Dan lemahnya kepercayaan kita terhadap al-Qur'an tentu tidak terjadi dalam semalam, karena banyak faktor sehingga al-Qur'an terpojok di sudut sempit jiwa kita. Secara umum faktor tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Citra yang kita warisi tentang al-Qur'an.
  2. Menjadi rutinitas.
  3. Melupakan tujuan al-Qur'an diturunkan.
  4. Sibuk mendalami ilmu lain.
  5. Tak mempengaruhi perilaku.
  6. Terbujuk rayuan setan, dan
  7. Anggapan-anggapan keliru.
Semoga kita bisa becermin kepada masa-masa para sahabat di mana al-Qur'an diturunkan, sebagai generasi terbaik umat ini yang patut diteladani. Aamiin.

Wallahu a'lam Bish-Shawab.

Catatan kaki:

[1] Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 1/207

1 komentar:

Silahkan tinggalkan pesan, komentar dan masukan Anda sesuai etika & kesopanan yang berlaku