Dahulu yang namanya musafir adalah orang yang bepergian menggunakan transportasi kuda biasa, bukan transportasi modern saat ini. Sebagian ulama memperkirakan jarak tempuhnya sekitar 3 mil, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad, Muslim dan Abu Daud, dari sahabat Anas, ia berkata: "Dulu itu Rasulullah apabila keluar bepergian dalam jarak 3 Mil atau 3 Farsak, maka beliau shalat 2 raka'at." Yakni menqasharnya. Hikmahnya di sini adalah untuk mempersingkatnya sesuai jarak. Bukan karena waktu yang dipersingkat. Sementara mazhab Hanafi memperkirakan dengan jarak tempuh 3 hari 3 malam. Sedangkan Jumhur 2 hari, atau sejauh perjalanan dengan jarak 16 farsakh/48 Mil dengan berjalan kaki tertatih-tatih atau menggunakan transportasi laut seperti kapal laut/bahtera. Dalilnya hadits yang diriwayatkan Imam Syafii dari Ibnu Abbas ra ia berkata: "Wahai Penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqasar shalat dalam perjalanan yang jaraknya kurang dari 4 Farsakh (atau sekitar 89 KM) dari kota Mekkah ke Usfan." Ulama jumhur memperkirakan jaraknya kurang lebih 89 KM. Adapun Imam Abu Hanafi mengukurnya kira-kira 96 KM, dengan dalil hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: "Orang bermukim sehari-semalam, sedangkan musafir 3 hari 3 malam."
Banyak imam -di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Syafi'i- berpendapat bahwa shaum bagi orang bepergian (musafir) lebih afdal apabila hal itu tidak menyulitkannya. Sementara Imam Ahmad dan Auza'i berpendapat bahwa tidak berpuasa lebih afdal dengan alasan mengambil rukhsah (dispensasi). Disyaratkan bagi yang diperbolehkan tidak puasa untuk musafir ketika memulai perjalanannya sebelum waktu subuh (ini menurut Jumhur selain pendapat Hambali). Jika misalnya si musafir sudah berpuasa di pagi harinya maka ia bepergian dalam keadaan shaum, berpegang pada posisi ia bertolak. Karena itulah kondisi asalnya. Adapun penganut mazhab Hambali tidak mensyaratkan hal ini. Tapi yang afdhal adalah tetap berpuasa untuk keluar dari perbedaan pendapat di atas.
Mengenai mereka yang merasa berat berpuasa seperti kakek-kakek yang sudah tua-renta dan orang sakit kronis, ibu hamil dan menyusui, jika keduanya ini hanya khawatir terhadap anak-anaknya saja, maka menurut mazhab Syafi'i dan Ahmad ia harus mengqadanya dan membayar fidyah, yakni memberi maka 1 orang miskin. Jikalau keduanya khawatir terhadap kondisi jiwanya selain kondisi anak-anaknya, maka keduanya hanya diwajibkan membayar qada saja. Namun, siapa saja yang sukarela membayar fidyah untuk 1 orang miskin di hari ia tidak berpuasa, maka itu lebih baik baginya dan lebih berpahala. Sukarela di sini maksudnya memberi makan lebih dari 1 orang miskin dalam seharinya atau lebih dari kadar yang diwajibkan atau dengan kata lain berpuasa (qada) juga membayar fidyah.
Nah, puasanya mereka-mereka yang berhalangan atau uzur ini lebih baik bagi mereka apabila mereka mengetahui dimensi kebaikan di dalamnya, apalagi bila melihat pada kemaslahatan sedekah bagi orang yang mampu untuk itu. Itupun, apabila tidak membahayakan mereka. Berangkat dari hadits Nabi ketika Umamah memohon kepada beliau: Perintahkanlah kepadaku dengan suatu hal yang bisa aku lakukan. Nabi mengatakan: "Lakukanlah puasa, karena puasa itu tidak ada duanya."
Kemudian Allah Swt menerangkan bahwa hari-hari yang singkat ini (yakni detik-detik Ramadhan) adalah bulan yang penuh berkah, di sana diturunkan al-Qur'an secara berangsur-angsur dalam waktu 23 tahun. Kitab yang menunjuki manusia kepada jalan yang lurus, jelas ayat-ayatnya tanpa samar-samar, pemisah antara yang haq dan batil. Sebagian mufassir menafsirkan turunnya al-Qur'an terjadi di malam lailatul Qadar dari Lauh Mahfuz ke langit dunia. Dan malam ini terjadi di bulan Ramadhan yang lebih baik daripada 1000 bulan.
Sedangkan hikmah ayat "Dan menjadi penjelasan dari petunjuk dan al-Furqan" setelah ayat "Sebagai petunjuk bagi sekalian manusia" menunjukkan bahwa kebenaran itu ada 2 macam.
1. Kebenaran yang jelas, dapat dipahami akal orang umum.
2. Kebenaran yang hanya dapat dijangkau oleh orang-orang khusus.
Dan kebenaran yang pertama lebih besar manfaatnya.
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan itu dalam keadaan sehat wal afiyat, tidak ada uzur seperti safar atau sakit, maka wajib atasnya berpuasa. Karena puasa adalah salah rukun Islam yang lima. Dan siapa yang belum mendapati bulan Ramadhan, -seperti di daerah kutub, di mana di sana waktu malam dan siang sama pada setiap pertengahan tahunnya, maka mereka harus memperkira-kirakan hari-hari sejumlah bulan Ramadhan sesuai dengan daerah-daerah yang terdekat dengan posisi mereka. Atau mengacu pada posisi kota Mekkah dan Madinah yang menjadi patokan pensyariatan.
Kemudian Allah menegaskan dispensasi tidak puasa sekali lagi sehingga tidak ada lagi anggapan generalisasi diwajibkannya puasa setelah ayat: "..hendaklah ia berpuasa.." dan setelah penjelasan yang memaparkan keutamaan puasa dan urgensinya. Ini karena Allah swt menginginkan suatu kemudahan pada setiap syariat yang dibuat-Nya, di antaranya rukhsah (dispensasi) bagi mereka yang uzur untuk mengambil keringanan ini dan demi mencegah kesulitan.
Mereka yang uzur pada dua kondisi, yakni sakit dan safar atau yang mirip keduanya, maka ia wajib membayar qada atau fidyah. Karena Allah menginginkan sempurnanya bilangan bulan Ramadhan, sehingga kita dapat bertakbir mengagungkan Allah, bersyukur terhadap segala nikmat-nikmat-Nya, yang di antaranya adalah nikmat diberi azimah (tekad) dan rukhsah (dispensasi).
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan, komentar dan masukan Anda sesuai etika & kesopanan yang berlaku