Menjadi Pemimpin Ideal di Abad Modern


Dicari pemimpin Ideal
Menjadi pemimpin merupakan suatu kelaziman pada manusia. Setidaknya pada tataran kehidupan pribadinya. Hal ini bercermin pada isyarat kekhalifahan yang Allah singgung pada Qs Al-Baqarah: 30. Sebagian besar ahli tafsir mengartikan khalifah pada ayat tersebut maksudnya adalah nabi Adam as sebagai representasi Tuhan di muka bumi. Begitu pula seterusnya dilanjutkan kepada anak keturunannya hingga zaman kita saat ini. Tanpa melihat konteks zaman, era dan tempat. Entah itu di zaman klasik dahulu kala hingga di zaman era industri 4.0 seperti di zaman kita sekarang ini. Selama dunia beserta isinya masih di huni oleh makhluk mulia bernama manusia.


Term atau istilah kepemimpinan

Istilah kepemimpinan (khilafah) sebenarnya sudah mewujud pada tataran praktis sosial kenegaraan dalam bentuk jabatan dan posisi pelayanan. Baik dalam melayani kepentingan sosial, perusahaan maupun negara dalam skala tata pemerintahan. Sehingga pada kepentingan skala negara kepemimpinan masih dianggap sebagai istilah praktis yang berarti mengurus kepentingan orang banyak. Di akhir zaman saat ini, memang sudah langka kita jumpai seorang pemimpin yang dapat merepresentasikan kepentingan manusia secara umum dan mengakomodir hak-hak mereka terjamin sebagai sekumpuluan manusia.

Namun, apabila kita mengikuti perkembangan informasi seputar tugas dan praktek kepemimpinan belakangan ini, maka kita akan mendapatkan pemahaman bahwa mereka yang berada terdepan pada posisi dan jabatan pada suatu institusi maka ia disebut pemimpin yang memberikan pengaruh terhadap orang yang diurusnya. Karenanya derajat seorang pemimpin sangat mulai di sisi Allah swt sehingga kemudian ia dimuliakan oleh Allah (lihat Qs Al-Isra: 70).

Tapi, fenomena yang kita saksikan justru menjungkirbalikkan makna 'pemimpin' yang begitu mulia ini. Betapa banyak pemimpin saat ini yang memanipulasi makna substansinya sebagai seorang yang memegang amanah Sang Pencipta. Dengan jabatan dan posisinya ia salahgunakan amanah itu. Akibatnya yang terjadi adalah semakin lestarinya budaya korupsi dengan berbagai istilahnya, nepotisme dengan memanfaatkan jabatan untuk dilanggengkan kepada keluarga dan kerabat, menjual jabatan dan posisi dengan materi dan segala bentuk penyalahgunaan terhadap amanah ini.


Antara Pemimpin dan Amanah Kekuasaan

        Kepemimpinan adalah sebuah amanah ilahi. Ia adalah pemberian dari Pencipta. Artinye begitu mulia dan terhormat baik di mata manusia apalagi di sisi Allah swt. Khususnya ketika seseorang diberi amanah menjadi kepala negara, raja, sultan dan siapapun yang mengurus kepentingan orang banyak. Selain sebagai sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, kepemimpinan juga merepresentasikan wakil Tuhan di muka bumi. Artinya seorang pemimpin harus menjalankan amanah kekuasaan yang ia pikul untuk mensejahterakan rakyat banyak dan siap mempertanggungjawabkan amanah itu kelak. Di hadapan manusia ia harus hearing dalam bentuk LPJ kepada negara. Sedangkan di hadapan Allah kelak di hari perhitungan di Mahkamah Ilahi di mana tidak akan ada yang tertutupi dari LPJ-nya, tidak ada pembela dan tidak bisa membantah.

        Sepanjang sejarah manusia setidaknya ada 4 raja/penguasa besar yang pernah memimpin rakyatnya. Pertama: Nabi Sulaiman, Kedua: Dzulkarnain, Ketiga: Raja Namrudz dan Keempat: Bukhtanshar. 2 di antaranya adalah pemimpin yang muslim (Nabi Sulaiman dan Dzulkarnain) dan 2 lainnya kafir (Namrudz dan Bukhtanshar). Namun, walaupun wilayah kekuasaannya demikian besar di zamannya, tetap saja tidak ada sepertiga dunia mereka kuasai. Karena Allah tidak menghendaki demikian. Sebagai manusia mereka sangat lemah seandainya harus memiliki dunia secara keseluruhan. Dan juga lantara tabiatnya yang rakus dan mudah terpedaya oleh ambisi dan nafsu setan yang ada pada dirinya.

        Lihat saja bagaimana kemudian Namrudz mati tragis setelah puluhan tahun tersiksa dengan seekor lalat yang sangat kecil bersarang di tubuhnya atas izin Allah. Lalat yang lemah mampu menghabisi seorang raja/manusia yang menglkaim dirinya hebat dan berkuasa. Sebaliknya baca pula kisah Nabi Sulaiman as bagaimana karunia Allah kerajaan yang begitu besar ditambah dengan ketundukkan banyak bangsa jin, angin dan setan kepada dirinya, atas izin Allah swt. Raja pertama terpedaya dengan kekuasaannya sehingga Allah hukum ia dengan binatang yang terlihat lemah, kecil dan diremehkan, sampai akhirnya  raja itu mati  mengenaskan. Sementara raja kedua menjalankan amanah kekuasaannya dengan baik sesuai dengan ajaran Tuhannya. Karunia wilayah kekuasaan yang sangat luas dan ketundukkan makhluk lain kepadanya dalam menjalankan roda pemerintahan menjadikannya paham akan amanah kekuasaan sehingga ia jalankan sesuai hukum Tuhan. Sebuah ilustrasi yang saling berseberangan namun penuh dengan hikmah bagi para pemimpin saat ini.

Bagaimana Menjadi Pemimpin Ideal?

        Namun demikian menjadi pemimpin dan membentuk pemimpin yang diidam-idamkan bukan berarti mustahil. Berdasarkan arahan al-Qur'an sebagai pedoman hidup, sosok nabiyyulah Ibrahim as dapat dijadikan contoh teladan yang tepat saat ini. Kisah perjalanan hidup dan dakwahnya begitu panjang bertabur onak dan duri. Tapi Ibrahim sabar. Ia banyak meninggalkan jejak dakwah kepada para penerusnya dari para nabi dan rasul setelahnya. 

        Paling tidak ada beberapa karakter penting yang dapat dijadikan parameter bagi sebuah model kepemimpinan ideal di masa mendatang, terutama untuk para pemimpin modern, di antaranya:

1. Karakter Integritas

    Dalam bukunya yang berjudul Integrity, Stephen L. Carter, integritas atau integrity mirip cuaca; semua orang membicarakannya, tetapi mereka harus paham dan mampu melakukannya. Carter memandang adanya tiga langkah, apabila kita membicarakan apa itu integritas. Yaitu:

Ø  Memiliki ketajaman atau kecerdasan (discerning) dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah,

Ø  Melakukan aksi (acting) sebagai tindak lanjut dari ketajaman/kecerdasannya itu,

Ø  Mengatakannya secara terbuka (saying openly) bahwa apa yang anda lakukan adalah bersandar pada yang benar, bukan yang salah.

       Ibrahim as memiliki karakter integritas dalam menghadapi perilaku kaumnya yang menyembah dan memuja berhala. Secara makna integritas mengkombinasikan tingkat pengetahuan dan pengalaman seseorang. Sebagaimana yang diisyaratkan pada term rusyd di atas bahwa ia bermakna matang secara intelektual, di samping Ibrahim juga cepat matang pada aspek akal dan fisik karena ia seorang pilihan Allah swt. Kematangan aspek akal terlihat sejak kecil dalam bentuk kemampuan nazhar (pengamatan) dan istidlal (berdalil) khususnya tentang persoalan teologi, menyangkut ke-Esa-an Allah swt. Dalam ajaran Islam seorang muslim diharuskan membekali pengetahuan akalnya dengan kekuatan dalil yang berhubungan dengan tauhidullah, terutama ketika harus melakukan debat. Sedangkan pada urusan selain agama, 
tidaklah dianjurkan mengambil jalan debat yang memang akan menghabiskan waktu tanpa manfaat, kecuali darurat.

      Dengan kata lain, Allah baru membebani taklif kepada seseorang setelah kematangan (terintegrasi). Bayangkan saja, apabila anda diberikan tugas dalam keadaan tidak siap pasti anda berat melaksanakannya, bukan?! Lalu anda berkeluh-kesah kepada Tuhan: “Bagaimana saya melakukannya, Ya Tuhan.” Ini adalah hal fitrah pada manusia. Setiap organ dan sistem pada tubuh tentu tersimpan karakter integritas yang selaras di dalamnya, pertumbuhan yang sesuai dengan pembentukannya. Persis seperti bayi, mata, mulut dan jari-jarinya, akan membesar sesuai dengan masa pertumbuhannya.

2. Inisiatif

        Menurut Maxwell, inisiatif memungkinkan pemimpin membuat segalanya menjadi kenyataan. Maxwell menjelaskan pemimpin sebagai inisiator, berarti: (1) tahu apa yang mereka inginkan; (2) mampu mendorong diri sendiri untuk bertindak; (3) berani ambil resiko.

        Dengan kematangan akalnya Ibrahim bersumpah melakukan tipu daya atas berhala-berhala kaumnya. Ibrahim antusias penuh didasari pertimbangan yang matang, sistematis dan mengukur skenario-skenario yang dibuat sebelum melangkah dan mengeksekusi. Ibrahim sengaja menyembunyikan tipu daya dan tidak mengumumkannya. Redaksi pada ayat tidak menyebutkan bagaimana orang-orang musyrik itu menjawabnya. Tampaknya mereka begitu yakin dan merasa tenang-tenang saja, dengan asumsi bahwa Ibrahim tidak akan mampu melakukan kejahatan kepada berhala-berhala mereka, maka mereka pun membiarkannya.

        Lalu, muncul pertanyaan: Apakah dengan keputusannya itu berarti Ibrahim berpikir pendek? Karena tentu amat besar resikonya jikalau ia benar-benar melakukan tindakan ‘bodoh’ menurut kalangan orang awam. Menghancurkan berhala-berhala kaumnya yang selama ini turun-temurun mereka lestarikan dari nenek-moyang terdahulu. Jawabannya tentu ‘tidak sama sekali’. Karena selain beresiko menghadirkan keputusan yang salah, pendek pikir hanya akan memunculkan masalah baru yang lebih rumit. Orang yang berpikir pendek itu fatal. Dan sebagai seorang pemimpin Ibrahim berpikir panjang tentang keselamatan diri dan dakwahnya.

        Ibrahim sudah mempelajari segala sesuatunya secara matang (terintegrasi) dan ia tahu resikonya. Namun karena pendekatan yang dilakukan sudah sesuai dengan misinya mengajak kaumnya bertauhid dan bertawakkal kepada Allah Maha Pencipta, maka langkah itu tetap dilaksanakan. Tugasnya sebagai nabi dan rasul hanyalah tabligh (menyampaikan) dengan berbagai cara yang maksimal. Selebihnya diserahkan kepada Allah swt. Inilah bentuk keyakinan Ibrahim dalam mewujudkan inisiasinya tersebut.

3. Ahli Strategi

        Dalam kamus KBBI disebutkan, salah satu makna strategi adalah rencana yang cermat mengenai suatu kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Pada ayat 88-90 surah as-shaffat, Ibrahim melayangkan pandangannya ke bintang-bintang dengan berpikir secara mendalam bagaimana menghadapi kaumnya yang tetap bersikeras menyembah patung, hanya karena alasan mempertahankan warisan nenek moyang. Padahal beliau sudah memberikan peringatan dan pengajaran kepada mereka, sebagaimana firman Allah swt:

اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖ مَا هٰذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِيْٓ اَنْتُمْ لَهَا عٰكِفُوْنَ قَالُوْا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا لَهَا عٰبِدِيْنَ

"(Ingatlah) katika dia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya dan kaumnya, "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?" Mereka menjawab: "Kami mendapati nenek-moyang kami menjadi para menyembahnya." (Al-Anbiya: 52-53)

        Sesudah berpikir dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh Ibrahim as memutuskan untuk mengambil tindakan yang berbahaya, yaitu menghancurkan semua patung sesembahan kaumnya! Ibrahim merasa geram dan harus mengambil langkah itu agar mereka beriman. Strategi (siasat) yang dilakukan Ibrahim menggunakan kalimat sumpah (وتالله) Demi Allah yang bertujuan membenarkan apa yang diucapkan sebagai bentuk ketegasan dan keseriusan melakukannya. Bahkan tekad siasat yang akan dieksekusi ini dipertegas kembali dalam bentuk taukid (stressing) pada lafazh لأكيدن (aku pasti melakukan tipu daya). Dalam ilmu nahwu (grammar Arab) huruf laam alif berfungsi sebagai taukid, begitu pula huruf Nuun bertasydid pada kalimat 'La akidann. Sehingga dapat disimpulkan bahwa memang Ibrahim berniat kuat dan bertekad bulat melancarkan siasat dan strateginya itu.Inilah strategi cantik yang dimainkan Ibrahim dalam ‘perang’ head to head dengan kaumnya. Dan saat itu Ibrahim dalam posisi sebagai pengendali ‘pertempuran’. Sebuah pelajaran bagus yang dapat dijadikan teladan oleh para pemimpin dan aktifis Islam masa kini. Menentukan langkah-langkah yang jitu dalam menghadapi objek dakwah atau bawahan. Sehingga langkah-langkah tidak sekedar feeback terhadap bantahan yang dilontarkan lawan. (al-Khalidi S. F., Qashas Qur'ani Waqai Wa Tahlil Ahdats) Namun juga membawa misi luhur untuk kebaikan dan penyelamatan bersama.

Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya menggambarkan kondisi ini. Katanya; akan tetapi kaumnya tidak sadar bahwa strategi yang dimainkan Ibrahim terhadap mereka di depan publik tidak menguntungkan mereka. Bagaimana tidak? Ibrahim memiliki hujjah (argumentasi) yang sangat kuat, berusaha memberikan peringatan tentang kesia-siaan penyembahan mereka terhadap berhala-berhala itu, di samping perilaku pendek akal kaumnya dan kebodohan berat mereka. Ramai-ramai kaumnya bertanya tindakan berani Ibrahim itu. Ibrahim menjawab -dengan bahasa rasional- bahwa pelakunya ada berhala yang terbesar sembari berkelit bahwa apa yang mereka sembah dan agungkan mengundang kemarahan. Ini yang membuat Ibrahim berani menghancurkannya. Selain itu Ibrahim juga memberikan catatan bahwa sesuatu yang tidak dapat berbicara dan memahami tidak pantas untuk disembah. Semuanya ucapannya ini merupakan bentuk sikap berkelit. Dan pada konteks ini hukumnya terpuji. Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ إِبرَاهِيْم عليه السلام لَمْ يَكْذِب غَيرَ ثَلاَث: ثِنْتَيْن فِى ذاتِ الله: بَلْ فَعَلَهُ كَبِيْرُهُمْ هَذا وقوله: إِنِّيْ سَقِيْمٌ وَوَاحِدَة فِى شَأْنِ سَارَة إِذْ قَال لِسَارَة : أُخْتِي، وَذَلِك لِيَدْفَعَ بِقَوْلِه مَكْرُوْهًا

Sesungguhnya Ibrahim tidak pernah berdusta melainkan pada 3 hal. Dua di antaranya seputar domain Allah yaitu pada firman-Nya: “Bahkan yang melakukannya yang terbesar itu…” dan firman-Nya: “Sungguh aku sakit.” Dan satunya lagi pada urusan Sarah (istrinya) tatkala Ibrahim berkata: “Ia adalah Sarah, saudariku.” Dengan maksud mengamankan dirinya dari hal-hal yang tidak disukai.” (HR. Shahihain, dari Abu Hurairah ra).


5. Pandai Berargumentasi

 Karakter ini terlihat saat Ibrahim memulai hijrah pertamanya dari negeri Babilonia menuju Harran, sebuah negeri yang saat ini berada di Turki bagian selatan, dekat dengan aliran dua sungai, Euprat dan Tigris.

   Perlu diketahui bahwa ketika Ibrahim hendak menyampaikan argumentasinya, kaum Harran meladeni dengan argumentasi yang dianggap lebih benar. Hal ini persis dengan dalil yang biasa digunakan oleh para pengikut pemimpin pada umumnya, yakni taklid buta, seperti pada ayat  إِنَّا وَجَدْنَا ءَاباَءَناَ عَلىَ أُمَّةٍ وَإِنَّا علىَ آثاَرِهِمْ مُقْتَدُوْن (kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka), Zukruf: 23. Adapun pada kata, “Dia (Ibrahim berkata) Apakah kalian hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku…” (Al-An’am: 80) ketika Ibrahim menyodorkan dalil yang mengantarkan kepada hidayah dan keyakinan, untuk apa ia menyimak hujjah kaumnya yang penuh dengan cacat dan ungkapan kata-kata yang batil.


Wallahu A'lam Bish-Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan pesan, komentar dan masukan Anda sesuai etika & kesopanan yang berlaku